Omówić, Abyś Był Zdrowy (Berbahasalah, Agar Kamu Sehat)

Photo by Edurne Chopeitia on Unsplash .

Alfred Korzybsky, seorang ahli psikolinguistik Polandia pernah berkata bahwa gangguan jiwa manusia disebabkan oleh keterbatasan penggunaan kosakata bahasa individu penutur. Bagi sebagian kita mungkin pernyataan ini cukup menggelitik dan kurang masuk akal. Apakah sebegitu besarnya pengaruh berbahasa terhadap kesehatan mental kita?

Sebelum membahas lebih jauh, kita tentu mengetahui fenomena psikosomatis, setidaknya pernah mendengarnya. Sederhananya, psikosomatis adalah ‘ilusi penyakit’ akibat pikiran atau perasaan kita sendiri. Hal ini terjadi ketika seseorang yang sehat tetapi seolah merasa sakit. Psikosomatis utamanya disebabkan oleh kondisi psikologis dan pikiran yang kurang baik. Dampaknya bisa fatal, mengutip dari kompas.com, psikosomatis telah mengakibatkan kematian 15-30 persen di Jakarta.

Dengan kata lain, banyak orang meninggal dunia di Jakarta karena ‘dibunuh’ oleh pikiran dan perasaan mereka sendiri. Kita tahu, merupakan hal yang sangat wajar ketika merasa sedih, marah, kesepian, penyesalan, dan berwarna-warna perasaan lain. Sehingga tidak mungkin bagi kita, manusia normal, mengebiri perasaan dan suasana pikiran sebagai respon alamiah terhadap peristiwa di sekitar kita. Lalu, bagaimana kita bisa mengantisipasinya? Dengan percaya diri, para linguis macam Korzybsky menjawab ‘berbahasalah’.

Bagi sebagian linguis seperti, Edward Saphir, Benyamin Whorf, Von Humbold, dan Ernst Cassier, percaya bahwa bahasa berhubungan erat dengan kondisi pikiran dan perasaan manusia. Bahkan dalam buku berjudul Language: An Introduction to the Study of Speech Edward Saphir dan Benyamin Whorf menyatakan bahwa bahasa menentukan pikiran manusia. Tentu pendapat ini menuai banyak kritik dari banyak linguis yang beranggapan berbeda bahkan sebaliknya.

Meskipun hipotesis Saphir-Whorf ‘diragukan’, kajian relevansi bahasa, pikiran, dan perasaan manusia telah banyak dilakukan psikolog, melibatkan psikologi kognitif, filsafat, dan linguistik. Mengenai hal ini, Daniel Goleman mengungkapkan bahwa berbahasa melalui pengungkapan nama emosi merupakan bagian dari bentuk self awarenes yang dapat membantu meringankan beban psikologis.

Sehingga tidak berlebihan jika penulis mengatakan bahwa ‘berbahasa’ merupakan sebuah terapi diri. Dalam kehidupan keseharian kita, ditengah hingar-bingar tekanan hidup yang kerapkali menyesakkan batin, berbahasa baik verbal ataupun tulisan dapat menyembuhkan beban batin, setidaknya meringankan. Semakin banyak kita dapat mengelaborasi perasaan dan emosi, memberikan nama terhadap perasaan dengan berbagai macam ungkapan, semakin ringan beban psikis yang dirasakan.

Curhat, menulis, misuh-misuh (sesuai konteksnya), berdoa, dan membaca merupakan berbagai terapi ‘berbahasa’ yang patut dicoba. Sebagaimana bentuk ikhtiar menjaga raga dan diri dapat dengan mengamalkan anjuran puasa sunah, shumu tashikhu ‘berpuasalah agar kamu sehat’. Para linguis macam Alfred Korzybsky mungkin juga ingin berpesan kepada kita dengan berkata omówić, abyś był zdrowy ‘berbahasalah agar kamu sehat’.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *