Media Sosial, Mikrofon untuk Semua Mulut

Photo by Merakist on Unsplash .

Sebelum era digital, panggung publik adalah tempat terhormat, hanya orang-orang mulia yang omongannya didengarkan khalayak. Kyai, ulama, budayawan, dan tokoh-tokoh tertentu saja yang mendapat kehormatan memegang mikrofon diatas panggung publik. Baru kemarin, hingga sekarang kita dihadapkan kenyataan bahwa ibu-ibu rumah tangga, anak-anak SD, tukang bubur, bahkan para penjahat dan terorispun dapat berorasi memegang mikrofon itu.

Hari ini, siapapun dapat bersuara menggunakan media sosial, ditonton ribuan hingga jutaan orang. Bukan hanya dalam satu gedung, kabupaten, atau negara, bahkan dapat melintasi benua paling ujung bumi. Saat ini mikrofon tersebut dapat tersimpan di saku melalui gadget-gadget yang kita gunakan, menjelma menjadi Facebook, Instagram, Twitter, Youtube, dan lainnya. Kita tidak perlu lagi memegang mikrofon dan berteriak keras-keras agar orasi kita didengar banyak orang. Hanya perlu menggerakkan jari, ketik apapun yang terlintas di pikiran, lalu klik send agar cuitan kita dapat dilihat orang lain.

Sepertinya belum lama, baru beberapa dekade yang lalu. Dan kini dunia telah berubah drastis. Dahulu mungkin tidak pernah terbayangkan seseorang dapat mecacimaki, berkata kotor, membully dan misuh-misuh di depan ribuan orang. Namun kini hal tersebut adalah kenyataan yang dapat kita jumpai sehari-hari. Kita dihadapkan pada realita yang benar-benar menguji kedewasaan.

Media sosial dan keterbukaan akses informasi telah mengubah wajah dunia saat ini, dan mungkin akan tetap menjadi media utama dimasa-masa mendatang. Kita berada pada era dimana eksistensi seseorang bergantung pada seberapa lihai manusia memainkan jari di media sosial. Kerapkali opini massa lebih mudah tergiring karena kecurigaan dan prasangka dari kabar yang belum teruji kebenarannya di media sosial.

Hal ini disebabkan diantaranya karena naluri manusia yang menginginkan segalanya serba instan, termasuk ketika menemukan informasi. Kerapkali orang-orang lebih mudah terprovokasi dengan berita yang sesuai selera tanpa memverifikasi dan mencari kebenaran informasi yang didapatkan. Ibaratnya, media sosial telah mampu membungkus keburukan dengan warangka kebijaksanaan dan juga sebaliknya.

Selama banyak orang yang memberitakan, men-like, men-share orang lebih mudah percaya. Memang banyak sekali manfaat yang kita dapatkan dari media sosial, akan tetapi selalu ada sisi negatif yang sepadan dengan manfaatnya. Dan tidak semua orang menggunakan media sosial ini sebagaimana semestinya.

Kita menyadari, tidak semua manusia era virtual sekarang siap dengan realita perkembangan teknologi yang dihadapi. Banyak orang yang belum bisa mengendalikan diri dengan kemudahan akses media sosial.  Umpatan, komentar negatif, debat kusir, saling caci, bahkan berita hoaks adalah fenomena lumrah yang dapat dijumpai di media sosial.

Padahal tentu mereka menyadari bahwa apapun yang mereka cuitkan di media sosial dapat dilihat oleh siapapun. Hal ini mencerminkan kenyataan bahwa orang-orang tidak mampu mengimbangi kemajuan teknologi dengan kemajuan (kedewasaan) berpikir. Oleh karenanya, kita perlu menyaring dan mempertimbangkan betul apa yang akan disampaikan di media sosial.

Kita dihadapkan kenyataan bahwa lebih dari sekedar media komunikasi dan mengakses informasi, media sosial telah menjadi alat propaganda, saling hujat, makian, dan penyebaran konten-konten negatif. Media sosial telah menjelma bukan lagi sekadar media untuk saling bersosialisasi, namun juga menjadi media flexing, pamer pencapaian, ataupun menumpahkan hujatan dan kekecewaan. Oleh karenanya, kesadaran untuk bersikap bijak dalam bermedia sosial sangat diperlukan.

Barangkali jika dahulu di sekolah-sekolah diajarkan mata pelajaran budi pekerti dan tata susila dalam masyarakat, sekarang mungkin perlu juga mata pelajaran etika bermedia sosial. Jika dahulu di pondok-pondok pesantren diajarkan adab kepada guru, orang tua, dan sesama manusia, mungkin santri-santri sekarang juga perlu diajarkan tentang media sosial beserta adab dan akhlaq menggunakannya. Karena bagaimanapun, realita yang dihadapi sekarang tidak dapat lepas dari media sosial dan perkembangan teknologi.

Semoga kita dapat menggunakan mikrofon media sosial ini dengan bijak. Menyebarkan nilai-nilai positif, kebaikan, dan toleransi dengan anggun. Minimal kita menyadari betul bahwa apapun yang kita sampaikan di media sosial dan internet akan mendapat konsekuensi yang harus kita pertanggungjawabkan. Jika tidak di hadapan manusia ataupun hukum sosial, maka kita tetap akan mempertanggungjawabkannya di depan Tuhan.

2 thoughts on “Media Sosial, Mikrofon untuk Semua Mulut

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *