[#2] Malaikat yang Menyembunyikan Sayapnya

Photo by Jackson David on Unsplash

Bagian #2

Prolog

Ku ingin saat ini engkau ada di sini, tertawa bersamaku seperti dulu lagi, walau hanya sebentar tuhan tolong kabulkanlah, bukannya diri ini tak terima kenyataan, hati ini hanya rindu…

Lagu Andmesh hanya rindu menggema dan mengalun di tengah pemakaman umum, suara tangisan keras pun ikut terdengar dari seorang gadis bertubuh mungil. siapa dia? Kenapa dia menangis? Wajahnya tampak sedih dan mematung tepat dihari ulang tahunnya yang ke dua puluh. Tanggal 09 Juni adalah hari dimana dia selalu merayakan hari kelahirannya dengan orang yang paling dia sayangi. Tapi kenapa sekarang berbeda? Ah entahlah, dia tersenyum dan mulai beranjak pergi dari pemakaman tersebut setelah memeluk salah satu batu nisan bertuliskan “Almh. Aisyah” sembari mengucapkan “maaf dan terima kasih.”

Siapa Aisyah? Apakah itu kekasihnya?

Gadis itu berlari dibawah rerintikan gerimis, terangnya lampu kuning di sepanjang sudut jalan juga menemani perjalanannya kala itu. Tak lama dia tiba disalah satu tempat yang tinggi dan indah. Ya.. tempat sederhana, tapi ini adalah tempat kesukaanya sekarang. sebut saja tempat itu bukit di belakang rumah, tempat dimana dulu sering ia kunjungi untuk sekedar bercanda atau membagikan keluh kesah dengan orang tercintanya.

Tapi sekarang? Tempat itu sepi dan sunyi!

Hanya segelas kopi dan kempulan asap rokok yang menemaninya sekarang. Wajahnya yang datar kembali meneteskan air matanya lagi ketika harus mengingat seseorang yang bernama Aisyah yang kini sudah tidak bisa menemani hari-harinya lagi. Sebenarnya siapa gadis cengeng itu? Siapa juga Aisyah? Gadis kecil itu bernama Farisa Ulya Adifa, gadis yang ditinggalkan seorang diri dalam kebingungan, hilang arah, patah semangat, putus asa dan ingin menyerah.

Dia tidak pernah merasakan kehilangan sedalam ini sebelumnya, sejak kematian Ibunya yang bernama Aisyah hidupnya terasa sangat berantakan, sangat hancur, sangat redup, bahkan mungkin bisa disebut mati. Ia benar-benar kehilangan pundak untuk bersandar dengan tenang dan nyaman sekarang. Semua sajak yang ditulisnya seolah berkumpul, merangkul, dan menepuk pundaknya seraya mengatakan “semua akan baik-baik saja.”

Tapi nyatanya tidak! Tidak ada yang baik-baik saja setelah kehilangan bukan?

Tempat yang sekarang Ia injak juga seolah berpesan “Kamu harus bisa berjuang, belum waktunya untuk menyusul ibumu sekarang,” Satu-satunya cahayanya telah pergi. Bahkan hanya sekedar untuk membuka matapun dia merasa takut, semesta terasa begitu tega dan kejam.

“Kenapa aku harus kehilangan sayap saat sedang keras-kerasnya belajar terbang, Kenapa aku harus kehilangan kaki ketika sedang keras-kerasnya berlari, dimana tumpuanku!” gumam gadis itu. Dia kembali menatap langit yang kini berubah menjadi senja. Sinar jingga yang keluar dari langit sore itu mengingatkan gadis itu akan warna kesukaan adiknya bernama Azkha yang kini sudah bersama ibunya di surga sana. Dalam lamunan sedihnya, gadis itu seperti mendengar suara merdu yang sangat-sangat ia kenali sebelumnya.

“Kamu harus kuat nak, Ibumu disini sudah tenang dengan ayah dan adikmu”. Mungkin itu suara yang ibu titipkan lewat langit untuk disampaikan kepada putri cantiknya disini. Sebenarnya apa yang membuat ibu gadis itu meninggal? apakah yang akan terjadi besok, lusa dan seterusnya? Apakah dia benar-benar harus berjuang sendiri untuk hidupnya? Dan seberapa berartikah Ibu dimata gadis itu?

…..

Para Ibu tidak benar-benar pergi, mereka hanya menjaga rumah di langit, mereka memoles matahari di siang hari dan menerangi bintang-bintang yang bersinar di malam hari, menjaga sinar bulan bersinar perak, dan di rumah surgawi diatas mereka, menunggu untuk menyambut orang-orang yang mereka cintai ~ Helen Steiner Rice

Kuatku untukmu, Bu

Kehidupan ini berubah setelah usiaku menginjak 20 tahun. Masa remajaku hancur, semesta serasa sangat getir sekarang. Kenapa ini harus terjadi padaku sekarang! Setelah 3 tahun silam aku harus kehilangan sesosok ayah, kenapa sekarang juga nyawa ibuku ikut kau cabut tuhan?

Tangan-tangan yang harusnya menimang dan menggandengku sekarang telah kau rampas. ya.. aku ingin berusaha berdiri tegak lagi meski dengan tertatih-tatih, tapi apa nyatanya? Aku tak sekuat itu tuhan!.

Sepertinya malam telah menelan keindahan senja yang sedang ku tatap, kesendirian ini mulai tercipta lagi seiring dengan munculnya suara binatang malam. Aku mulai melangkahkan kakiku untuk segera pulang dari tempat ini (bukit belakang rumah). Dengan sedikit rintik hujan yang mulai membasahi kepalaku, aku sedikit memutar badan untuk sekedar melihat tempat yang tadi ku duduki sembari mengucap janji

“Bu.. besok aku akan kembali lagi ke sini, tempat favoritku berbagi cerita, tempat dimana cinta dan tutur lembutmu kau berikan.”

“Terima kasih atas semua waktumu bu” Dan untuk bukit di belakang rumah, terima kasih telah menyuguhkan pemandangan terbaik selama aku menghabiskan waktu dengan malaikatku.

Suasana pagi ini begitu sepi dan muram, angin terasa diam seperti tertahan oleh suatu duka yang mendalam, Kabut dan awan kelabu membalut menutupi birunya langit. Butiran embun yang kemarin jatuh dari langitpun masih membeku tepat diatas dedaunan yang menguning kering. Begitu sunyi, seolah pagi sengaja mengasingkan dirinya sendiri.

Aku tersenyum pahit sembari bangkit menuju ruang tengah, samar-samar detak jantungku bisa ku dengar meski lirih. Ah.. entah bagaimana, aku tiba-tiba kembali merasakan sebuah kesedihan. Kumpulan foto-foto yang berbaris di tembok ruang tamu kembali melelehkan airmataku pelan. Tak lama dari itu, sebuah buku berjudul namaku “Farisa Ulya Adifa ” kembali membuatku tak mampu membendung airmata layaknya sungai di awal musim hujan.

Ya… Tulisan Ibu memang benar-benar indah.

“Apakah ini makhluk yang disebut kenangan? Kenapa makhluk ini datang?” Setelah buku itu ku baca sampai halaman terakhir, aku hanya bisa mengutuki kepecundanganku. apa yang sudah ku lakukan selama ini kepada Ibu? Kenapa aku terlalu berambisi dengan mimpi-mimpi besarku tanpa memikirkan seberapa besar dan berat perjuangan ibuku.

Beliau merelakan masa tuanya hanya demi dapat membiayai kuliahku diluar kota, ibu juga harus merawat adikku yang mengidap cerebal palsy. Ibuku merelakan masa tuanya dengan mengambil 4 pekerjaan sekaligus hanya demi bisa mencukupi kebutuhan kedua anaknya ini. Beliau mati-matian menggunakan tenaganya demi bisa mengumpulkan biaya kuliahku dan biaya berobat adikku azkha. Benar-benar perjuangan yang melelahkan sebagai seorang single parent bukan?

Hah… aku benar-benar merasa tak berguna!

Kenapa aku baru sadar hal ini setelah dirimu berpulang, “Dasar anak tolol” ucapku kepada diriku sendiri. Semakin lama, aku merasa semakin terasingkan dari kehidupan ini, keceriaan dan kebahagiaan terasa terus bersembunyi sekarang. Derpaan angin yang berhembus dari jendela ruang tamu seakan mengajakku untuk menyusul kematian Ibu.

“Untuk apa aku hidup? Bukannya masa depanku juga sudah runtuh sekarang?” Cetusku dengan penuh putus asa.

Setelah meletakan buku tulisan ibu, kakiku mulai melangkah menuju dapur untuk mengambil seikat tambang berwarna biru yang tepat berada diatas rak lemari. Ah.. mungkin ini jalan terbaik, jarum jam yang mengatur waktuku hidup telah menyelesaikan tugasnya.

“Aku sudah lelah, biarkan aku menyusulmu bu” gumamku sambi menaiki kursi yang sudah ku siapkan sebelumnya. “Farisa, apa yang kamu lakukan, tolong hentikan niatmu, kamu sudah gila ya!” Teriak sahabatku bernama Ayla yang tiba-tiba datang dari pintu depan. Ayla langsung menarik dan merangkulku dari atas kursi sebelum tali tambang biru itu masuk kedalam kepalaku.

“Mengakhiri hidup bukan cara terbaik untuk lari dari rasa sakit, kamu pasti bisa melewati ini” ucap Ayla dengan tegas dan penuh rasa khawatir. Aku menangis sejadi-jadinya, semua beban hidup dan rasa sesal tiba-tiba menjadi satu, benar-benar rasa yang tidak ingin ku ulangi lagi.

Hati ini tiba-tiba sedikit merasakan damai ketika sahabatku berusaha mati-matian menenangkanku. Ah.. pelukan sahabatku benar-benar menenangkan, pelukan ibuku dulu seperti kurasakan lagi sekarang.

Setelah aku terlihat lebih tenang, ayla mulai bertanya sembari memberikan segelas air putih untuk menenangkanku. “Apa yang kamu lakukan tadi, Ris? Kenapa kamu segila ini sekarang?” Tanya Ayla dengan wajah sedikit serius.

“Aku rindu Ibu dan Adikku Ay” jawabku singkat. “Tapi bukan dengan cara itu kamu menemui ibu dan adikmu, jika mereka tau apa yang kamu lakukan tadi pasti mereka akan menangis di surga sana, apakah kamu ingin melihat airmata mereka jatuh hanya gara-gara hal bodoh yang kamu lakukan tadi!” Jawab Ayla dengan lantang.

Aku hanya bisa terdiam setelah mendengar perkataan itu. Aku kembali menangis sembari merangkul tubuh sahabatku lagi. Ah.. aku benar-benar bingung saat itu, semua kenangan tentang ibu serasa terpaku di kepala.

Ibu telah mengajarkan segalanya, tapi ibu lupa cara mengajarkanku bagaimana aku bisa hidup tanpanya sekarang! Tapi apakah ini balasanku? Kenapa aku bisa melakukan hal sebodoh ini? Apa gunanya semua tetesan keringat yang telah ibu keluarkan hanya untuk biaya sekolah dan biaya hidupku. Apakah hanya ini hasil yang bisa kuberikan kepada ibuku setelah semua hal yang ibu punya rela ia jual demi biaya sekolahku..

Ah.. aku memang bodoh.

Maafkan aku bu..

Aku gagal, aku gagal menjadi putrimu sekarang!

…..

Sekarang aku tahu mengapa Ibu selalu memintaku untuk kuat, karena ibu tahu aku akan membutuhkan ribuan, jutaan, milyaran bahkan trilliunan kekuatan hanya untuk menanggung kepergianmu. Terima kasih atas semuanya. Aku merindukanmu Ibu.

…..
lanjut bagian 3…

Penulis: hanya.bungsubiasa_

One thought on “[#2] Malaikat yang Menyembunyikan Sayapnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *