Kemiskinan, antara Nasib dan Takdir

Photo by Ben Richardson on Unsplash

Halo Sahabat Basantara,

Selama kalian hidup, pernah nggak sih kalian menanyakan tentang,
“Kenapa sih aku terlahir sebagai orang miskin?”
“Kenapa sih aku tidak bisa seperti orang-orang lain yang hidupnya penuh dengan kekayaan?”

Tapi sebelumnya, apa sih kemiskinan itu?

Dilansir dari wikipedia.com
Kemiskinan atau Miskin adalah keadaan saat ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan dan kesehatan.

Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan.

Kemiskinan bisa dipahami lewat beberapa cara. Pemahaman utamanya mencangkup:

  1. Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencangkup kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, papan, pendidikan serta juga kebutuhan kesehatan.
  2. Gambaran tentang kebutuhan sosial termasuk pengucilan sosial, ketergantungan dan ketidakmampuan dalam berpartisipasi dalam masyarakat.
  3. Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai.

Tak bisa dipungkiri, hidup dalam garis kemiskinan. Bertahan dalam hidup yang serba kekurangan itu nggak enak bangeet..
Bahkan mungkin meskipun kalian sudah mulai bekerja, berusaha mati-matian hingga menghabiskan banyak tenaga, waktu dan segalanya. Itu kadang belum cukup meski hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar kita sebagai manusia.
Padahal sudah sangat jelas, tidak semua kemiskinan itu bersumber dari rasa malas.
Kenapa? Karena penyebab kemiskinan itu bisa kita sederhanakan menjadi 2 aspek.

  1. Kemiskinan Kultural
  2. Kemiskinan Struktural.

KEMISKINAN KULTURAL
Kemiskinan ini lebih terkait dengan faktor internal, dengan diri sendiri yang tidak mau mengangkat kondisi hidupnya seperti, malas kerja, tidak mau belajar, mudah putus asa, lebih suka sesuatu yang instans, dll.

Kemiskinan kultural ini ibaratnya ketika kita terlahir biasa-biasa saja, tapi sebenarnya kita bisa mengakses beberapa sumber daya seperti, sekolah, internet, buku, relasi, dll.
Dan ya, sayangnya.. kita tidak mau untuk memanfaatkan itu semua. Entah itu karna rasa malas atau karna rasa overthinking dan rasa sombong kita yang terlalu berlebihan. Jadi, solusi untuk Kemiskinan kultural adalah kita harus mau berusaha mengubah dam membuang kebiasaan buruk dan rasa malas kita. Dan berusahalah untuk bisa memanfaatkan bahkan memaksimalkan juga sumber daya yang bisa kita akses.

KEMISKINAN STRUKTURAL
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor eksternal terhadap diri mereka sendiri seperti, regulasi pemerintah, pola asuh orang tua, kondisi lungkungan, serta keterbatasan akses untuk memanfaatkan sumber daya.

Kemiskinan ini bisa diibaratkan gini, Kita lahir di pemukiman yang pelosok dan kumuh, jarak dari rumah ke sekolah sangat jauh, sinyal internet kurang memadai, bahkan lingkungan dan orang-orang terdekat kita semua juga berada dalam zona kemiskinan.
Seakan terjebak dalam lingkaran kemiskinan bukan? Boro-boro mau ngomongin bisnis dan segala macam, anak-anak yang terlahir dan tumbuh dalam keluarga miskin seringkali tidak memiliki askes ke fasilitas kesehatan dan gizi yang memadai. Hal ini tentu dapat mempengaruhi kesehatan dan kemampuan kita untuk belajar dan tumbuh secara optimal.

Lalu.. apakah kita bisa keluar dari kemiskinan struktural ini?

Bisa, tapi tidak semudah menulis kata-kata ini.
Karena untuk keluar dari kemiskinan struktural itu butuh effort yang benar-benar gila, begitu juga kesadaran tiap individu untuk keluar dari kemiskinan. Bahkan, mungkin tidak cukup sampai disitu, pemerintah juga harus berperan penting untuk memberikan bantuan yang layak dan merata, baik dari akses internet, akses pendidikan, kesehatan, dll.

Selain itu, ntuk menangani masalah kemiskinan ini, kita harus mencari puncak dan akar dari penyebab kemiskinan mereka terjadi.
Jika masalah ini tidak ditangani dari akar maka sangat besar kemungkinan masalah kemiskinan ini bisa terulang dan menjadi perangkap kemiskinan manusia untuk tetap miskin di kemudian hari.

Lalu apakah dengan kita memberikan uang dengan jumlah banyak itu akan membantu mereka keluar dari kemiskinan itu?

Tentu jawabannya adalah bisa. Tapi itu hanya dalam jangka pendek.
Kalau kita tidak bisa mengimbanginya dengan beberapa faktor, baik itu dari kesehatan yang layak, lowongan pekerjaan yang cukup, serta pendidikan atau pegangan mereka dalam menjalani hidupnya ke depan.

Masih ingat dengan kampung miliarder di Kabupaten Tuban, Jawa Timur?

Daerah yang dijadikan lokasi proyek strategis nasional pembanguan minyak grass root refinery (GRR) yang digarap PT Pertamina (Persero) dan Rosneft.

Sejumlah warga di kampung itu dulunya mendadak jadi kaya raya karna mendapatkan uang ganti rugi yang berjumlah fantastis untuk proyek kilang minyak.
Rata-rata warga Desa mendapatkan uang ganti rugi sebesar Rp8 miliar, paling banyak Rp28 miliar.

Sementara total warga yang terkena dampak proyek ada 280 jiwa. Semua warga yang terdampak pun setuju menjual lahannya untuk dibangun.
Sesaat setelah mendapatkan ganti rugi, warga desa pun berbondong-bondong membelanjakan uang tersebut dengan membeli mobil baru, lahan, rumah, dan lainnya. Bahkan beberapa orang tak hanya membeli satu mobil, tapi bisa dua atau tiga mobil!

Sayangnya, setahun berselang nasib warga beberapa telah berubah menjadi berbalik 180 derajat.
Kondisinya para warga sampai harus menjual hewan peliharaan dan menghabiskan tabungan untuk menyambung hidup.

Penyebabnya adalah tidak ada pekerjaan akibat lahan pertanian yang sudah dijual.
Jumlah pengangguran pun meningkat karena banyak buruh tani ke warga yang punya lahan luas tidak bisa lagi bekerja karena lahan yang sudah dijual.
Tentu mungkin jika mereka memiliki kesadaran dan tingkat yang cukup dalam pendidikan. Pasti hal itu tidak akan terjadi
Karena mereka tau, meski mereka memiliki jumlah uang yang sangat fantastis banyak, mereka sudah kehilangan mata pencaharian mereka.

Jadi yang harus dilakukan mereka lakukan sebenarnya adalah mencari atau membuat sebuah pekerjaan atau lapangan usaha yang bisa membantu mereka dalam memutarkan ekonomi 10 tahun atau 20 tahun kedepan (jangka panjang).
Tidak malah menghambur-hamburkan uangnya untuk membeli hal-hal yang sebenarnya tidak begitu perlu.

Fenomena kaya mendadak bisa dialami oleh siapa saja, tapi juga harus dipertahankan. Jangan sampai harta yang yang didapat membuat kalap dan menghabiskannya secara sekejap.

Selain cerita dari tuban tadi, tentunya kita masih sangat sering mendengar atau melihat bencana banjir yang sangat berdampak ke kehidupan manusia bukan?

Jika kita lihat dari segi ekonomi para korban, hal ini umpamanya sebuah ” vicious cycle” yang senantiasa menyebabkan seseorang itu kekal dalam kemiskinan atas beberapa faktor contohnya seperti berikut.
Individu terbelenggu kemiskinan -> mereka bertekad untuk mengubah kehidupannya -> individu miskin tersebut tertimpa musibah banjir -> semua harta dan simpanannya terpaksa dikeluarkan untuk memperbaiki barangnya yang rusak karna banjir tadi.

Jadi, kemiskinan ini haruslah ditangani dengan solusi yang (long term), jangan hanya bantuan secara (one off) yang hanya dapat membantu untuk jangka masa pendek mereka.

Penulis: AN

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *